BAB IV
HUBUNGAN KERAJAAN
KESULTANAN ACEH
DENGAN PIHAK
KERAJAAN-KERAJAAN LAIN DI INTERNASIONAL
Dalam abad ke XVI, Aceh memegang
peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari
Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah
dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari
Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh
sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah
pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia,
Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan
mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di
jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di
Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah
kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi
perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara
maupun luar negeri.
Portugis pertama sekali mendarat di
Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk
mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang
Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim
armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak
berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan disana.
Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah
seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka
dan kuburannya ada disana.
Kemudian pada masa Sultan Iskandar
Muda (1607 – 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman
Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan
Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat
sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap
di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan
orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah
kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick
De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda
tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman
serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal
dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh
Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh.
Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan
kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh
mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul
Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya
ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602
saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin
kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh
sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut
sampai bertahun-tahun kemudian. Namun demikian karena keserakahan V.O.C,
Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada
tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang
dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan
jutaan nyawa.
4.1. Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Cina (Tiongkok)
Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman
dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A
Sie Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di
Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan
sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak
di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada
abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi)
menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282,
diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin)
utusan ke Tiongkok. Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam
pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai
kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li
(Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan
barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan
terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan
dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah,
India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada
jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah,
dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum
melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India. Kota
Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu
Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama
yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke
Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik,
dll. diimpor ke Pasai ini.
Pada abad ke 15, armada Cheng Ho
juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang
tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai
juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama
di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu.
Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah)
atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra
Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya “kampung Cina”,
seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh
Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13.
Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran
internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai
bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan
dan
4.2. Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Kerajaan Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris yang
paling berjaya Elizabeth I, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester
kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan “Kepada Saudara Hamba,
Raja Aceh Darussalam”, serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan
Aceh kala itu menerima maksud baik “saudarinya” di Inggeris dan mengizinkan
Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan
juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari
batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas.
Sir James pun dianugerahi gelar “Orang Kaya Putih”. Hubungan yang misra antara
Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan
Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh.
Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja
James.
Sultan Aceh pun membalas surat dari
Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan
oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585: I “am the mighty ruler of the Regions
below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of
Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the
sunrise to the sunset”.
terjemahan dari isi surat tersebut
adalah: (Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang
terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah
wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit
hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan
Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja
James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut
hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James, Sultan
Iskandar Muda juga pernah mengirim surat kepada Raja Inggris James I pada tahun
1615 silam. Surat yang disebut sebagai “golden letter” itu ditulis dengan
menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Arab Jawi. Disebut memiliki hiasan
tertua dan terindah, terbesar bahkan paling spektakuler. Sebab, selain
panjangnya mencapai satu meter, surat bersampul sutra kuning asli itu ditulis
dengan tinta warna emas di atas kertas jenis oriental. Surat asli tersebut sat
ini berada di perpustakaan Bodlian, Oxford, Inggris.
Surat ini tiga perempat isinya
melukiskan tentang keagungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) beserta kekayaan
dan keluasan wilayah kekuasaannya, berikut adalah petikan terjemahan mukadimmah
surat Sultan Islandar Muda untuk King James I :
" Surat daripada Seri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, raja yang beroleh martabat kerajaan, yang dalam takhta
kerajaan yang tiada terlihat oleh penglihat, yang tiada terdengar oleh pendengar, yang bermahligai gading, berukir
kerawang, bersendi-bersindura, bewarna sadalinggam, yang berair mas, yang beristana sayojana menentang "-
Surat Sultan Iskandar Muda ini
menjadi salah satu bentuk rekaman romantisme hubungan Kerajaan Aceh dan Inggris
di masa lalu. Dan relasi seperti ini terjadi jauh-jauh hari sebelum Indonesia
ataupun kerajaan-kerajaan di Nusantara memiliki hubungan dengan negara-negara
Eropa. Ada yang membedakan antara hubungan antara Aceh dengan Inggris maupun
negara Eropa lainnya dengan kerajaan di luar Aceh. Hubungan yang dibagun oleh
Kerajaan Aceh dengan Inggris dan Eropa berbasiskan hubungan diplomatik yang
egaliter, bukan dalam bentuk sebagai perwakilan daerah koloni antara tuan dan
pihak jajahan.
Surat ini menjadi salah satu bukti
adanya hubungan diplomatik antara Kerajaan Aceh dan Inggris. Tentu tak hanya
sekadar hubungan diplomatik biasa, karena Aceh dan Inggris pernah
menandatangani Perjanjian Persahabatan Abadi (Perpetual Friendship Treaty)
antara Inggris dan Aceh di abad ke 17 dan diperbaharui di tahun 1811. Isi
perjanjian tersebut menyatakan bahwa kedua negara berkewajiban saling membantu
dari serangan pihak lain. Akan tetapi Inggris telah mengkhianati perjanjian ini
ketika negara itu menandatangani Perjanjian Sumatra (Sumatran Treaty) dengan
Belanda yang mengakui upaya hegemoni Belanda atas Aceh.
4.3. Hubungan Kesultanan Aceh dengan Belanda
Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah
mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan
menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda.
Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang
dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam
kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia
dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para
pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan
orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan
sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan
oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan
Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
4.4. Hubungan Peradaban Aceh dengan Belanda
Dalam catatan sejarah terungkap
bahwa ketika kerajaan Belanda memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan
Spanyol ,hanya kerajaan Aceh sebagai negara pertama di dunia yang mengakui nya
dan segera menjalin hubungan diplomatik sehingga terjalin hubungan bilateral yang
sangat baik diantara ke dua negara yang sangat berjauhan letaknya itu.Meskipun
kedua kerajaan tersebut berbeda berbagai aspek sosial kemasyarakatnya,tetapi
baik kerajaan Aceh maupun Belanda tetap menjalin kerjasama dalam bidang
perdagangan, sehingga mendukung pertumbuhan perekonomian kedua kerajaan
tersebut.
Awalnya dari sepucuk surat Pangeran
Maurit dari dinasti Oranye van Nassau pemegang tampuk kerajaan Belanda hingga
Ratu abetrix sekarang yang dikirim kepada Sultan Aceh,Alauddin Riayat
Syah.Surat dalam bahasa Spanyol yang berisi bujuk rayu tersebut dibawa oleh
Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy dengan ekpedisi empat buah kapal
yang membawa berbagai barang yang sangat berharga waktu itu sekitar 660.000
gulden nilainya.Keempat kapal ekpedisi yang membawa barang-barang untuk
dipersembahkan kepada Sultan Aceh,Sultan Alauddin Riayat Syah itu,yaitu
Zelandia,Middelborgh,Langhe Bracke dan De Sanne yang berangkat dari pelabuhan
Zeland pada tanggal 28 Januari 1601.Selain membawa bekal 450.000 real sebagai perbekalan
juga berbagai barang berharga untuk diserahkan kepada Sultan Aceh sebagai
simbol persahabatan diantara kedua kerajaan itu.Pange ran Maurit yang sedang
menghimpun berbagai potensi yang ada untuk membebaskan tanah airnya dari
penjaja han Spanyol dan Portugis dibawah Raja Manuel ,ingin memperluas
hubungannya dengan berbagai negara termasuk Aceh dan melupakan tragedi pahit
kematian Cornelis de Houtman kena rencong orang Aceh konseku wensi ketidak
sopanannya tahun 1599 saat ia melakukan ekpedisinya di perairan kerajaan Aceh.
Pangeran Maurit menyadari bahwa
dengan membuka hubungan diplomatik dengan kerajaan Aceh yang menguasai jalur
dagang teramai di dunia,Selat Malaka,serta menguasai teritorial sepanjang pulau
Sumatra hingga Pariaman di Sumatra Barat,serta Belanda dan Aceh bisa
mengimbangi dominasi Portugis di Malaka sejak tahun 1511.Selama ini Belanda
senantiasa terjepit oleh Portugis dan Spanyol yang bisa mengontrol jalur laut
sejak dari Giblaltar(Jabal Thariq)dimulut Afrika dan Eropa pertemuan laut Tengah-Samudrea
Atlantik hingga Samudra Hindia,Laut Merah,Laut Arab,Teluk
Parsia,Goa,Malaka,Timor,Maluku dan Philipina.Oleh sebab itu hubungan diplomatik
dengan kerajaan Aceh amat penting bagi kerajaan Belanda yang sedang
mempersiapkan diri untuk me lepaskan diri dari imperialisme kerajaan Eropa
selatan itu(Portugis dan Spanyol).
Pelayaran yang dilakukan Belanda
ebelumnya selalu mendapat ancaman dari Portugis-Spanyol,dan jika tertangkap
bisa dipastikan hukumannya sangat berat karena dituduh membantu gerakan
sepatisme Belanda pimpinan Pangeran Maurit.Secara militer ,pasukan
Portugis-Spanyol waktu titu sangat kuat tidak mungkin bagi Belanda untuk
menghadapinya sendirian.Karenanya Belanda sangat penting menjalin hubungan
diplomatiknya dengan kerajaan Aceh.Dalam pelayarannya ke Aceh,kapal kapal
Belanda singgah dulu di Afrika Timur untuk minta dukungan dari penguasa
setempat yang juga sudah lama bersahabat dengan Aceh,serta untuk mengelabui
dari kejaran armada Portugis dan Spanyol serta Inggris yang merajai lautan
waktu itu.Setelah delapan bulan mengharungi samudera yang seringkali harus
bersembunyi dari armada Portugis-Spanyol kepesisir kepulauan sepanjang
pelayarannya, maka pada tanggal 25 Agustus tahun 1601 rombingan kiriman
pangeran Maurit tiba di Aceh,dan setelah membaca surat tersebut dengan hati
hati serta dicatat oleh sekretaris kerajaan – rombongan diterima dengan baik
oleh Sultan Aceh.
Surat yang ditulis pangeran Maurit
di Den Haag tertanggal 11 Desember 1600 berisi antaranya ada lah:”Kepada beta
dikabarkan pula bahwa orang orang Portugis telah mengadakan peperangan terhadp
kera jaan Yang Mulia atas perintah Raja Spanyol,dengan tujuan untuk merampas
negeri itu dan menjadikan warganya sebagai hamba sahaya ,sebagaimana yang
demikian telah dilakukannya selama sudah lebih tigapuluh tahun dinegeri
kami..”.Kerajaan Aceh yang sejak dulu benci kepada Portugis ,sehingga sudah
beberapa kali terlibat pertempuran dengannya,segera menanggapinya dengan
positif dan menjajaki kemungkinan bisa berhubungan dagang dan kenegaraan dengan
negeri Belanda. Sebagai realisasinya maka Sultan Aceh,Alauddin Ri ayat Syah
mengirimkan duta besarnya sebagai awal pembukaan diplomatik antara Aceh dan
Belanda.Para diplomat Aceh ke Belanda itu dipimpin Abdul Hamid bersama petinggi
militer kerajaan Aceh,Laksamana Sri Muhammad dan Mir Hasan sebagai anggota
delegasi bersama rombongan Laurens Bicker.
Dalam pelayarannya di perairan
Afrika dekat pulau St.Helena rombongan bertemu dengan kapal perang Portu
gis,San Yago dan pertempuran lautpun tidak terhindarkan lagi,akhirnya kapal
Portugis bisa ditenggelamkan sehingga rombongan bisa melanjutkan lagi
pelayarannya,dan tiba di Zeeland pad tanggal 20 Juli tahun 1602.Te tapi baru 20
hari tiba di Belanda,Abdul Hamid jatuh sakit kemungkinan karena usianya yang
sudah lanjut disertai udara Belanda yang sangat dingin sehingga diplomat
veteran Aceh itu meninggal dunia pada tanggal 10 Agustus 1602 dalam usia 71
tahun ,serta dimakamkan di Middleborhg dengan upacara kenegaran sebelum sempat
bertemu dengan pangeran Maurit yang sedang bertempur melawan pasukan
Portugis-Spanyol jauh dipedalaman yang bermarkas di Desa Grave.
Selanjutnya,pada tanggal1 September
1602 Laksamana Sri Muham mad dan Mir Hasan menemui pangeran Maurit dan
menyerahkan surat-surat persahabatan sekaligus dokumentasi lainnya seperti
layaknya zaman modern sekarang jika utusan sebuah negara bertemu dengan kepala
pemerintahan tentunya menyerahkan suarat-surat kepercayaannya mewakili negarany
masing-masing.Dengan itu maka secara resmi kerajaan Aceh baik secara de facto
maupun secara de jure telah mengakui kemerdekaan negeri Belanda dibawah
pimpinan Pangeran Maurit dari dinasti Oranye van Nassau.Oleh sebab itu kerajaan
Acehlah sebagai negara pertama yang mengakui secara defacto dan secara de jure
kemerdekaan negeri Belanda yang berdiri sendiri hingga sekarang ini.Belanda
akhirnya diizinkan membangun kantor dagangnya di Darussalam, ibukota kerajaan
Aceh,serta atas rekomendasinya Belanda juga bisa berhubungan baik dengan
negeri-negeri dipesisir India seperti Gujarad,Calikut,Benggali dan Sri Langka.
(acehpedia)
4.5. Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan
Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah
cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin
tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut
sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Danis Lombard mengatakan bahwa
Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu,
Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut,
Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut
bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di
dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300
ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan
aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga
sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah
sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
4.6. Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Dengan Malaka
4.6.1. Hubungan Kesultanan Aceh Dengan Johor
Pada mulanya
ditahun 1528 – 1564 M Sultan Alauddin Riayat Shah 11 (Raja Ali / Raja
Alauddin) memerintah Johor sekaligus masuk kedalam pemerintahan Kesultanan Aceh
pada tahun 1530 - 1557 M (1571 M), Sultan Alauddin Riayat Syah al Qahhar telah
memerintah Aceh. Kemudian pada 1564 – 1570 M
diteruskan Sultan Muzaffar Shah 11 (Raja Muzafar/Radin Bahar) memerintah Johor,
seterusnya dilanjutkan pada tahun 1565 M Tun
Seri Lanang (lahir dan meninggal 1659 M di Aceh)
Pada tahun 1565 - Raja Firman memerintah Aceh. Seterusnya pada tahun yang sama yaitu tahun 1565 M Raja Sri Aman, sebagai Raja Pariaman, dan anak Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahhar, memerintah Aceh. (1579), pada tahun 1565 - 1567 M, Sultan Zainal Abidin Raja Jainal, cucu Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Qahhar I, menjadi Sultan Aceh.
Pada tahun 1570 M – 1597 M, Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah memerintah Kerajaan Johor Lama dan Bendaharanya ialah Tun Seri Lanang, selanjutnya di tahun 1580 M, Bapa saudara Nur Al Din Al Raniri bernama Muhammad Jilani Hamid pergi ke Aceh. Pada tahun 1585 - 1588 M, Sultan Ali Riayat Syah II, anak Putera Johor dengan Puteri Sultan Alauddin Mansur Syah I, seterusnya 1588 - 1604 M, Sultan Alauddin Riayat Syah II, cucu melalui anak laki-laki saudara bapa Sultan Ali Mughayat Syah I, dan bapa kepada Sultan Ali Mughayat Syah (1604-1607). Pada tahun 1597 - 1615 M, Sultan Alauddin Riayat Shah III memerintah Kesultanan Johor Lama dan Bendaharanya ialah Tun Seri Lanang sehingga berlaku Perang Batu Sawar pada tahun 1613 M.
Pada tanggal 25 Mac/Maret 1598 M, Dua buah kapal Belanda berangkat ke Nusantara. Dari 223 orang awak-awak kapal ada dua bersaudara yang ikut dalam ekspedisi 1595, iaitu Frederik de Houtman dan Cornelis de Houtman. Mereka tiba di Teluk Aceh pada 24hb Jun. Raja Aceh melayan rombongan Belanda yang tiba dan memberi penghormatan kepada mereka. Raja Aceh tidak berminat kepada perdagangan dan hanya ingin menggunakan kapal-kapal dan senjata Belanda untuk menyerang Portugis di Johor.
Aceh
pertahankan monopoli perniagaan lada yang mereka kuasai. Usaha mendapatkan
senjata gagal kerana intrik yang dilakukan Portugis sehingga Cornelis de
Houtman dibunuh. 30 orang awak kapal, termasuk Frederik de Houtman dipenjarakan
dari 11 September, 1599 hingga 25 Augus, 1601. Frederik menolak, tetapi 5 orang
Belanda lain menerima tawaran Raja Aceh untuk memeluk ugama Islam dan menikah
dengan isteri baru dari kalangan wanita Aceh. Seorang darinya Lenard van
Wormser menjadi juru bahasa Raja Aceh dalam lawatan ke Belanda pada tahun1602.
Frederik yang setia pada isterinya menghabiskan masa dalam penjara menyusun
kamus Belanda-Melayu seperti yang dikisahkan dalam bukunya CORT VERHAEL.
4.6.2. Menaklukkan Johor
Dalam Kitab “SULALATUS SALATIN” atau Sejarah
melayu, pada tahun 1613 M, Aceh menaklukkan Johor dan membawa Bendahara
Kerajaan Johor, Tun Seri Lanang ke Aceh dan dijadikan Raja di Samalanga oleh
Sultan Iskandar Muda. Tun Seri Lanang menjadi penyiar Islam di Samalanga dan
kemudiannya di Aceh dan menjadi pengarang kitab Sulalatus Salatin yang juga
dikenal sebagai Sejarah Melayu.
Pada tahun 1613 - 1659 M, Tun Seri Lanang dilantik oleh Sultan Iskandar Muda menjadi Uleebalang di daerah otonom Samalanga. Kemudian di tahun 1615 M, Sultan Iskandar Muda menyerang Portugis di Melaka tetapi gagal.
4.6.3. Kesultanan Johor
Adapun Kesultanan Johor yang memerintah pada waktu
setelah ditaklukkan oleh Kerajaan Kesultanan Aceh Darussalam adalah :
1.
Sultan Abdullah Ma'ayat Shah ( Raja Mansur ) memerintah
Johor pada tahun 1615 – 1623 M
2.
Sultan Abdul Jalil Shah 111 (Raja Bujang) memerintah
Johor pada tahun 1623 – 1629 M.
3.
Sultan Abdul Rauf al Jawi al Fansuri al Sinkili pada
tahun 1629 – 1632 M.
4.
Sultan Abdul Jalil Shah 111 (Raja Bujang) memerintah
Johor pada tahun 1632 – 1677 M
5.
Sultan Ibrahim Syah (Raja Ibrahim/Putra raja Bajau)
memerintah johor tahun 1677 – 1685 M,
6.
Sultan Nurul Alam Zaqijatuddin Inajat Riayat Sjah pada
tahun 1685 – 1688 M,
7.
Sultan Mahmud Shah II (Raja Mahmud) Memerintah Johor
tahun 1688 – 1699 M,
8. Sultan Abdul
Jalil IV ( Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil ) memerintah Johor tahun 1699
– 1720 M.
Definasi Johor Lama
Pada
tahun 1722 - 1889 M, Bermulanya zaman pemerintahan Kesultanan Johor Lama di bawah
pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah. Wilayah Johor lama merangkumi
negeri-negeri Johor, Pahang, Riau, Lingga, Singapura dan kawasan-kawasan di
bawahnya.
9. Sultan Johar
el Alam Aharuddin memerintah Aceh sampai ke Johor tahun 1723 M,
10. Sultan Undei
Tebang memerintah Aceh sampai ke Johor tahun 1723 M,
11. Sultan
Alauddin Ahmad Syah Johan Berdaulat memerintah Aceh sehingga anaknya, Sultan
Alauddin Syah Juhan, menggantikannya tahun 1723 - 1735 M.
12. Alauddin
Achmad memerintah Aceh sebagai Sultan Alauddin Syah Juhan pada tahun 1735 –
1760 M.
13. Pada tahun 1760 - deposed
1763 - Sultan Alauddin Machmud Syah I memerintah Aceh sampai kejohor sehingga
disingkir. Beliau anak Sultan Alauddin Syah Juhan.
14. Usurper Sultan
Badruddin Johan Alam memerintah Aceh sampai ke Johor tahun 1763 – 1765 M.
Pada
tahun 1763 sampai 1823 M. Period ini ada kajian oleh Lee Kam Heng dalam buku 'The
Sultanate of Aceh - Relations with the British' terbitan Oxford University
Press.
15. Sultan
Alauddin Machmud Syah I memerintah tahun 1765 – 1771 M.
16. Sultan
Alauddin Machmud Syah I memerintah dari Aceh ke johor tahun 1771 – 1781 M.
17. Anak Sultan
Alauddin Machmud Syah I bernama Sultan Alauddin Machmud Syah II Juhan
memerintah Aceh sampai ke Johor tahun 1781 – 1795 M.
18. Sultan
Alauddin Jauhar Alam Syah memerintah Aceh adalah anak Sultan Alauddin Machmud
Syah II dan dilahirkan bernama Hasan tahun 1795 – 1814 M.
19.
Usurper Sultan Sharif Seif el Alam memerintah Aceh sampai
ke Johor 1814 – 1818 M.
4.6.4. Hubungan Kesultanan Aceh dengan Sultan Perak
Pada tahun
1567 - 1585 M, Sultan Alauddin Mansur Syah I, anak Sultan Mansur Syah 1 menjadi
Sultan ke 2 negeri Perak.
4.6.5. Hubungan Kesultanan Aceh dengan Pahang
Pada tahun 1618
M, Aceh menaklukkan Pahang. Raja dan Permaisuri Kamaliah atau Jamaliah serta
anaknya Sultan Bongsu atau Husin Syah telah dibawa ke Aceh. Setelah Sultan
meninggal Iskandar Muda telah menikahi Puteri Kamaliah dan anaknya Sultan
Bongsu telah dinikahkan dengan anak perempuan Iskandar Muda yang bernama Puteri
Zakiatuddin dari pernikahan Iskandar Muda dengan Puteri Seni yang bergelar
Permaisuri Setia. Satu-satunya anak lelaki Iskandar Muda telah dihukum mati
kerana zina. Maka Sultan Bongsu telah dijadikan Putera Mahkota dan setelah
Iskandar Muda mangkat maka menantunya dan anak tirinya menjadi Sultan Iskandar
Tsani.
4.7. Hubungan Kesultanan Aceh dengan Turki
Pada tahun 1537 - 1571 M, Sultan Alauddin Riayat Syah
Alqahar memerintah Aceh Darussalam dan merupakan Sultan yang menjalinkan
persahabatan dengan Kerajaan Moghul dan Kekaisaran Usmaniyah di Turki.
Dan tahun 1545 M, Utusan Aceh ke Turki menyebabkan 300 tenaga ahli dari Turki dikirim
ke Aceh bersama meriam besar yang dikenall dengan MERIAM LADA SICUPAK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar