BAB VI
PERJUANGAN ACEH SETELAH BERGABUNG
DENGAN INDONESIA RAYA
6.1.Hasan Tiro Menganggotai Barisan Pemuda
Indonesia
Pada tahun 1945 M, Apabila mendengar berita kemerdekaan bangsa
pada tahun ini T. Hasan Tiro yang berumur 20 tahun di kala itu, menancapkan
bendera merah putih di kampungnya Tanjung Bungong, Pidie. Dia banyak belajar
mengenai nasionalisme dari gurunya HM Nur El-Ibrahimy, menantu Daoed Beureueh,
dan dia masuk Barisan Pemuda Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 M, Pengisytiharan
kemerdekaan dibuat di Jakarta. Aceh menyambut baik pengisytiharan ini, pada
tanggal 24 September 1945 M, Keluarga di Tiro bersumpah untuk Kemerdekaan Indonesia dan Bendera Merah Putih telah dinaikkan oleh
Teungku Umar Tiro dan Teungku Hasan Tiro selalu Ketua Barisan Pemuda Indonesia
Lamlo bersama Muhammad Saleh ( Ayahwa Leh). Teungku Umar Tiro sebagai
satu-satunya pewaris keluarga Tiro telah bersumpah setia terhadap Republik
Indonesia.
Pada tanggal 15 Oktober 1945 M, Ulama Aceh
menandatangani deklarasi kesetiaan kepada Indonesia. Termasuk Teungku Muhammad
Daud Beureueh. namun pada
sisi kepemimpinan lain di Aceh dari tahun 1945 sampai 1949 masih dalam perang
kemerdekaan.
6.2.Aceh Berpecah
6.2.1.
Sejarah Singkat Pecahnya Prang Cumbok
Sekali lagi
Aceh berpecah. Sementara ulama dan rakyat menyokong kemerdekaan pihak
uleebalang mengambil pendirian yang berbeza. Uleebalang seperti Teuku Nyak
Arief, Teuku Hamid Azwar dan Teuku Ahmad Jeunib menyokong kemerdekaan sementara
Teuku Daud Cumbok menentang kemerdekaan dan menyokong Belanda kerana baginya
Indonesia belum soap untuk mendeka.
Teuku Daud Cumbok adalah watak yang ganjil. Di
Pasar Malam Lam Meulo di mana terletak Ibu Pejabat Daud Cumbok, ada perjudian
dan hidangan minuman keras, tanda penentangan terhadap ulama. Teuku Daud Cumbok
mengarahkan bendera merah-putih diturunkan dan membakar serta merusakkan
rumah-rumah ahli PUSA.
6.2.2.
Ulee Balang Mempertahankan Teuku Daud Cumbok
Pada bulan
Desember 1945 Akibatnya, pemerintah pusat mengisytiharkan Teuku Daud Cumbok
sebagai pengkhianat dan perlu dihukum. Uleebalang menafikan pengkhianatannya.
Pada tanggal 10 Januari 1946 Ribuan rakyat di
bawah pimpinan bangsawan, ulama dan tentera (ABRI) telah menyerang Ibu-Pejabat
Cumbok di Lam Meulo. Pertarungan bersenjata berlaku selama 3 hari. Hari keempat
pasukan Cumbok lari ke hutan. Pertarungan tamat pada 17 Januari, tetapi
kemarahan rakyat berterusan. Rumah Teuku Oemar Keumangan bernilai Rp12 juta
(wang di waktu itu) dibakar; dan Teuku Ahmad Jeunib yang menyokong kemerdekaan
juga terkorban. Ramai rakyat termasuk kanak-kanak yang tidak bersalah turut
terbunuh. Mengenang banyak yang terkorban dari kalangan yang tidak bersalah
maka Lam Meulo telah ditukar nama menjadi KOTA BAKTI.
6.3.Catata Singkat tentang Perjuangan Aceh
untuk Indonesia
6.3.1. Teungku Hasan Tiro Tinggalkan Aceh
Pada tanggal 4 Mei 1946 M, Teuku Nyak Arief
meninggal dunia di Takengon. Pada tahun 1947 M, Abu
Mansur Ismail mula menjadi adjutant Teungku Daud Beureueh sehingga beliau
meninggal pada tahun 1987.
Pada tanggal 1 Juni 1948 M, Teungku Daud Beureueh
menubuhkan Tentera Nasional Indonesia untuk Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
Pada tahun 1948 M, T. Hasan
Tiro kembali ke Atjeh pada akhir tahun sebagai staf Wakil Perdana Menteri
Sjafruddin Prawiranegara yang memimpin pemerintah darurat Indonesia dari Atjeh
sampai pertengahan tahun1949
Pada Tahun 1949 M, Belanda menyerah Aceh ke tangan
Pemerintah Indonesia.
6.3.2. Kota Raja Menjadi Ibukota Negara Indonesia
Pada tahun 1949 M, Ibu Kota Republik Indonesia
berpindah ke Kutaraja (Kini Banda Aceh) kerana antara tahun 1945 hingga 1950
seluruh daerah Indonesia sudah dikuasai semua oleh Belanda (Abu Jihad dalam
bukunya Hasan Tiro & Pergolakan Aceh)
Pada tahun 1950 T. Hasan Tiro kembali ke Yokyakarta untuk
melanjut studinya.
6.4.Aceh kembali Bergejolak
Dalam Catatan Sejarah Aceh ; pada tanggal 14 Agustus 1950 Indonesia
mula menjajah Aceh, dengan segala bentuk propaganda yang dilakukan Indonesia
terhadap Aceh, pertama Indonesia memerintahkan kepada Mohammad Natsir untuk
membubarkan Daerah Aceh pada tanggal 23 Januari 1951 Status Aceh sebagai sebuah
daerah telah dibubarkan oleh cabinet Mohamad Natsir dan Aceh diletak di bawah
Sumatera Utara, kemudian para pendekar rakyat waktu itu kesal terhadap
Indonesia.
6.4.1. Ulee Balang Menumbuhkan BKR (Badan Kesadaran Rakyat)
Pada tanggal 8 April 1951 Uleebalang
menubuhkan Badan Kesedaran Rakyat (BKR) untuk menentang PUSA.
dan pada tanggal 8 Oktober 1951 Teungku Daud Beureueh menulis Surat kepada
President RI menyatakan rakyata Aceh dari indifference to impatience to revolt.
Pada tanggal 13 Maret 1953 Teungku Daud Beureueh bersama Amir Husin al Mujahid
berunding dengan Kartosoewirjo di Bandung.
Pada tahun 1953 pembentukan DI/TII di Aceh dan
saat itu Teungku Daud Beureueh adalah tokoh kunci dalam pergolakan DI/TII di
Aceh. Dan seterusnya pada bulan April 1953 Dalam persidangan PUSA di Langsa, berikutan
Konggres Ulama Aceh (atau Indonesia) yang diadakan lebih awal di Medan,
keputusannya dibuat untuk menentang Jakarta.
6.4.2. Aceh Menganggotai Darul
Islam Indonesia (DII)
Pada tahun 1953 sampai 1964,
terjadinya Peristiwa Darul Islam Indonesia yang disingkat dengan (DII) serta
menelan korban rakyat Aceh sebanyak 4,000 jiwa orang Aceh syahid.
dan seterusnya pada tanggal 20
September 1953, DI/TII menyerang serentak ke
Lhoong, Indrapuri, Keumang, Garot, Matang Glumpang Dua dan Bireun. Kemudian
melancarkan serangan ke Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, Langsa dan Takengon.
Pada tanggal 21 September 1953 Teungku Daud
Beureueh membuat pengisytiharan Pendirian Kerajaan Islam Aceh yang menolak
Pancasila dan menjadi sebahagian dari Darul Islam Indonesia mengikut jejak
Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Pada tanggal 2 November 1953 Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo telah menafikan di dalam persidangan Dewan Perwakilan mengenai
wujudnya sebuah senarai hitam atau 'Les Hitam' yang mengandungi nama 300 (190)
orang tokoh Aceh yang mesti dibunuh di Aceh sebagai 'Serambi Mekkah, atau
'Tanah Jeumpa'. Serta seterusnya pada tahun 1954
Rosihan Anwar bertemu Hasan Di Tiro - di
New York
6.4.3. Peristiwa Pulot Cot Jeumpa
Pada tanggal 26 Februari 1954
terjadinya Peristiwa Pulot Cot Jeumpa berlaku. Pada hari ini TNI Batalion 142
dari Sumatera Barat menyerang tentera Darul Islam dalam kawasan Lho Nga di Aceh
Besar. Kerana gagal menemui musuh mereka di kampung Cot Jeumpa mereka menjadi
marah. 25 orang petani kampung yang tidak bersalah telah ditembak mati di situ.
Dua hari kemudian TNI mengamok lagi di kampung Pulut yang berdekatan. Mereka
memukul sampai mati 64 orang nelayan di kampung itu termasuk orang tua dan
kanak-kanak.
pada tanggal 1 September 1954 T. Hasan Tiro
menulis surat ancaman kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk
menghentikan kekerasan ke atas rakyat sipil Aceh.
Seterusnya kejadian demi
kejadia terus bergejolah di Aceh sampai pada tanggal 26 Februari 1955 Peristiwa di Kampung Pulot, Cot Jeumpa Leupeung
Aceh Besar di mana 99 warga sipil ditembak oleh puluhan tentera Indonesia dari
Batalion B pimpinan Simbolon dan Batalion 142 pimpinan Mayor Sjuib. Tuntutan
self determination diajukan kepada rezim Soekarno.
Peristiwa Pulot Cot Jeumpa ini, mengikut Ahmad
Chatib Amarullah seorang pemberita yang berumur 73 tahun pada tanggal 25
Agustus, telah dilaporkan dalam surat khabar Peristiwa terbitan 3 Maret, dan
dipetik oleh Indonesia Raya dan New York Times. Masyarakat Aceh di Jakarta
mendesak Perdana Menteri Ali Sastramijoyo supaya mengirimkan peneliti ke Aceh,
tetapi kerana kemenangan TNI ke atas kubu pemberontak di Tangse dan Takengon
maka Ali berazam untuk menghancurkan pasukan Teunku Muhammad Daud Beureueh.
Pada bulan Juni 1955 Soekarno dan Hatta
mengirimkan wakil untuk berunding dengan pemberontak tetapi usaha ini gagal.
Seterusnya tanggal 23 September 1955 Rapat di
Batee Kureng dihadiri 87 orang tokoh menghasilkan program Bate Kureng yang
antara lain menyatakan Aceh merupakan bagian dari NII/SM. . sebagai Wali
Negaranya ialah TMDB, pada tahun 1956 Komandan
Militer Wilayah Aceh Kolonel Sjamaun Gaharu memperkenalkan konsep baru bernama
'Wise Principle' atau 'Prinsip Kebijakan' di mana sementara operasi militer
berjalan terus tetapi usaha mencari perdamaian juga diteruskan.
Pada tanggal 15 – 19 September 1956 Kongres mahasiswa, pemuda dan tokoh-tokoh
masyarakat Aceh yang berlangsung di Medan yang antara lain menyatakan
penyelesaian keamanan di Aceh. Pada tahun 1957 - 'Singa
Aceh' karangan H. M. Zainuddin terbitan Pustaka Iskandarmuda Medan.
6.4.4. Perjanjian Lamteh
Pada
tanggal 8 April 1957 Pertemuan antara KDMA/Pemerintah Daerah dengan
pimpinan DI di Lamteh Aceh yang melahirkan 'Ikrar Lamteh'
Dengan 'Ikrar Lamteh' gencatan senjata telah diisytiharkan. Setelah
perjanjian ini Perdana Menteri Djuanda telah melawati Aceh. Panglima DI//TII
Hasan Salleh, didampingi oleh Perdana Menteri Hasan Ali, telah meminta Perdana
Menteri Djuanda memasukkan Aceh sebagai sabuah negeri dalam Indonesia. Kerana
ini berbau federalisma maka Djuanda menolak kerana Indonesia sudah pun menjadi
republik. Kerana itu Daud Beureueh telah mengarahkan Perdana Menteri Hasan Ali
supaya membatalkan ceasefire. Di waktu itu banyak anggota Polis telah menyokong
TII/DII dan membawa bersama 300 pucuk senjata.
Pada 9 April 1957 Komandan
KDM Aceh mengeluarkan perintah penghentian pertempuran dengan DI di Aceh.
Pada tahun 1958 Buku
'Demokrasi Untuk Indonesia' karangan Teungku Hasan di Tiro diterbitkan. 181
halaman. Dalam buku itu T. Hasan di Tiro menyatakan: Pancasila bukan filsafat,
suatu ideologi yang hidup dalam masyarakat Indonesia'. T. Hasan berpendapat
Islamlah yang dijadikan filsafat atau ideologi negara kerana Islam selain
falsafah juga suatu ideologi dan ugama yang hidup dan berakar dalam masyarakat
Indonesia. Islam adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mempersatukan
sebagian besar dari bangsa-bangsa Indonesia yang alamnya, sejarahnya,
bangsanya, bahasanya, kepentingan ekonominya, politiknya dan adat istiadat
tidak pernah mengenal kesatuan itu. T. Hasan juga menolak bentuk ketatanegaraan
Republik Indonesia yang bersifat unitaris, kerana bentuk seperti itu akan
menimbulkan dominasi suku. Bentuk negara sistem federal adalah tepat untuk
Indonesia, yang pembagian daerahnya berdasarkan suku bangsa. Dalam negara
federal tajaan T. Hasan terdapat dua jenis Dewan Perwakilan iaitu Dewan Rakyat
yang dipilih melalui pemilu dan Dewan Bangsa yang mewakili massing- masing
suku.
Pada tahun 1959 Penerbitan buku 'Gajah Putih' karangan Tgk. M.
Yunus Ismail terbitan Lembaga Kebudayaan Aceh, Banda Aceh. 'De Hikayat Aceh'
karangan Dr. T. Iskandar terbitan N. V. Nederlandsche Boeok En Steendrukkerij,
'S-Gravenhage Nederland. 'Rencong Aceh di Tangan Wanita' dikarang dan
diterbitkan oleh Ilyas Sutan Pamiran di Jakarta.
Pada tahun 1959 Ceasefire
berhasil walaupun Teungku Daud Beureueh masih belum mahu turun dari rimba,
namun pada 15 Maret 1959 Hasan Saleh selaku
Kepala Staf Angkatan Darat DI/TII di Aceh mengambil alih pimpinan DI/TII
Aceh, kemudian membubarkan kabinet Hasan Ali dan membentuk Dewan Revolusi yang
diketuai oleh A. Gani Usman.
Presiden RI pada
tanggal 15 Agustus 1959 mengeluarkan surat keputusan No. 180 yang isinya
memberi amnesti dan abolisi kepada anggota DI/TII di Aceh yang kembali dengan
sedar. Dan saat itu pula ada rancangan penubuhan Republik Persatuan Indonesia.
sehingga pada 23 November 1959 KASAD Lt.
Jend. A. H. Nasution melantik WAMIL yang berasal dari DI/TII Aceh di Leupung, seterusnya
pada 24 Novemver 1959 Perlantikan WAMIL di
Metareuem
6.4.5. Proklamasi Republik Islam
Aceh (RIA)
Pada tanggal 15 Agustus 1961, membuka Sejarah Baru Aceh dengan Tarikh
Proklamasi Republik Islam Aceh oleh Teungku Muhammad Daud beureueh. Seterusnya Nama Aceh bertukar menjadi RIA yaitu Republik Islam Aceh
dan mengangkat pejabat yang menduduki jabatan di RIA antara lain :
1.
Presiden Pertama RIA dijabat oleh Teungku Muhammad Daud
Beureueh
2.
Perdana Menterinya di Jabat oleh Hasan Ali (Hasan Ali
kemudiannya berpisah dengan Teungku Daud Beureueh.
3. Menteri
Agama pertama RIA dijabat oleh Teungku Ilyas Leube.
4.
Teungku Hasbi Geudong adalah salah seorang pendiri RIA.
Pada tanggal 29 September 1961 terjadilah Resolusi
pimpinan DPR-GR Aceh mendukung sepenuhnya kebijaksanaan penyelesaian keamanan
yang dijalankan oleh Panglima.
Pada tanggal 4 Oktober 1961 Tokoh
masyarakat Aceh menemui Teungku Muhammad Daud Beureueh.
seterusnya pada 9 Oktober 1961 Hasan Ali sebagai Perdana Menteri Republik Islam
Aceh kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia di jakarta.
pada tanggal 2 November 1961 Panglima KODAM 1/ISKANDAR MUDA Kolonel M. Jasin
melakukan pertemuan langsung dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh di
Langkahan, Aceh Timur. pada 21 November 1961 Panglima
KODAM 1/ISKANDAR MUDA mengutus KAS Nyak Adam Kamil memberi surat di bawah
Teungku Muhammad Daud Beureueh untuk menghadap Menteri Keamanan Nasional/KASAD
Jend. A. H. Nasution. Pada tanggal 12 Desember 1961
Berlangsung rapat staf KODAM 1/ISKANDAR MUDA dengan dihadiri pula oleh Polisi
dan Brimob.
Pada tanggal 8 mei 1962 Pimpinan
Tertinggi DI/TII Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh 'kembali' ke pangkuan Ibu
Pertiwi. dan pada 9 Mei 1962 Hasil
rundingan dengan Kolonel Jasin, yang menggantikan Sjamaun Gaharu, pasukan
Teungku Daud Beureueh turun dari rimba dengan tenteranya yang dipimpin oleh
Teungku Ilyas Leube.
Pada tahun 1972 Teungku Zainal Abidin Tiro, abang kandung
Teungku Hasan Di Tiro, dihantar oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh ke Amerika
untuk bertanya masanya senjata akan tiba di Aceh dari Amerika. Zainal Abidin
melaporkan senjata hampir tiba untuk Aceh berperang. Teungku Hasan meminta
abangnya memberitahu Teungku Daud Beureueh keperluan tempat pendaratan
helicopter untuk menerima senjata. 2 ha tanah telah disiapkan oleh Teungku
Hasbi dan anaknya di desa Nisam, Krueng Geukeuh bersama dengan Kompi Yunus.
Pada tahun 1974 Teungku Hasbi Geudung diutus ke Singapura dan
Malaysia oleh Teungku Daud Beureueh, untuk bertemu Teungku Hasan Tiro
bertanyakan mengenai senjata. Teungku Hasan memberitahu senjata perlu
dimasukkan melalui kapal selam dan tidak melalui udara. Teungku Hasbi dan
Teungku Jamil Syamsudin Panton Labu telah diperintah oleh T Muhammad Daud Beureueh
untuk membersihkan alue sungai di Simpang Ulim. 280 orang telah menunggu
kedatangan kapal selam selama 6 bulan tetapi yang ditunggu tidak tiba.
Pada tahun 1974 T. Hasan Tiro kembali ke Aceh setelah 20 tahun
di luar negara. (Mengutip buku
Intel Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007) karya Ken Conboy pada
halaman 176 diawali dari keputusannya menelepon Kedutaan Indonesia Washington
meminta visa kunjungan keluarga. Visa diberikan setelah Badan Koordinasi
Intelijen Negara (Bakin) tidak mempersoalkan serta dukungan dari Dubes
Indonesia untuk Amerika Syarief Thayeb yang juga orang Aceh Timur. Hasilnya,
Hasan disambut meriah di bandara Blang Bintang Banda Aceh serta dijamu oleh
Gabenur Aceh Muzakkir Walad di Meuligoe (Pendopo) Aceh. Pemerintah Aceh
menyediakan mobil untuk melakukan lawatan sosial ini.) ms 180.
Pada tahun 1975 - Dr.
Mukhtar telah diminta oleh T Muhammad Daud Beureueh supaya bertemu T Hasan Tiro
di Bangkok bertanyakan senjata. Dr. Mukhtar dibawa ke Subic Bay di Filipina
oleh THT yang menunjukkan senjata di sana. Dr. Mukhtar melaporkan kepada TDB
bahawa dia telah lihat dengan matanya sendiri senjata yang begitu banyak untuk memerdekakan
Aceh dari Republik Indonesia.
Pada tanggal 4 September 1976
T. Hasan Tiro pulang ke Aceh dan tinggal
di sana hingga 29 Maret 1979. Dia terbang dari Amerika ke Tokyo ke Hongkong ke
Bangkok. Dengan perahu yang dinakhodai orang Thailand beliau berlabuh di Kuala
Tari Pasi Lhok Pidie pada 30 Oktober, 1976. Kepulangan T Hasan Tiro ini
semestinya beserta senjata yang lengkap sebagaimana yang dijanjiakan kepada T
Muhammas Daud Beureueh. Ternyata dia tidak bawa senjatanya.
Pada saat
pertemuan pertama Hasan Tiro, Teungku Fauzi bersama temannya - Ilyas Nurdin,
Uzair Jailani, Said Amin Kamaruddin, Teungku Daud Husein (Daud Paneuk) - diajak
oleh Hasan Tiro untuk melihat-lihat laut. Pada kesempatan itu Hasan Tiro
menyatakan kepada Teungku Fauzi di hadapan Teungku Muhammad Usman Dan Ilyas
Nurdin, 'Saya sangat berterima kasih kepada keluarga Dr. Muchtar yang telah
menyambut dengan baik rencana kita ini dalam rangka berperang menegakkan negara
Aceh', selanjutnya Teungku Hasan Tiro menambahkan 'Apakah rakyat Aceh mahu
berperang?' Pertanyaan Teungku Hasan Tiro kemudian dijawab oleh Teungku Teungku
Fauzi: 'Rakyat Aceh insya Allah masih seperti dahulu dalam cita-citanya untuk
berperang, hanya senjata belum tiba sampai saat ini'.' Hasan Tiro menimpali
dengan mengatakan: 'Abang Teungku lebih mengetahui soal ini, di antara kami
dengan TMDB telah sepakat dalam beberapa hal penting.'
Setelah
melihat-lihat pantai - maksudnya adalah untuk peninjauan lokasi pendaratan
senjata, Hasan Tiro pulling kembali. Hasan Tiro sempat minta dana kepada TMDB
sebesar Rp12,500,000 ( dari keluarga Dr. Muchtar Rp3,000,000, dari Teungku H.
Ilyas Leube Rp3,000,000 dan dari TMDB sendiri Rp6,500,000) untuk ongkos dan
biaya beli sebuah bot guna mengangkut senjata. Sesampainya di Lhokseumawe, Hasan
Tiro Turin sejenak menjengok Letkol H. Ghani. Setelah berbincang sejenak Hasan
Tiro kembali ke mobil Land Rover yang kami bawa. Selanjutnya jalan- jalan ke
Komplek PT Arun. Setibanya dalam komplek pabrik dan setelah melihat- lihat
pabrik, Hasan Tiro mengatakan: 'Satu tahun lagi pabrik ini sudah kita kuasai.'
Kemudian setelah meninjau pabrik itu, kami mengantar sampai ke Medan, dan
sehari kemudian Hasan Tiro berangkat keluar negeri.'
Pada bulan februari 1977 T Hasan Tiro pulang lagi ke Aceh setelah 20 hari
berada di luar Aceh, Pada tahun 1977 Dr. Muchtar Yahya Teungku Hasbi wisuda di
sebuah Universiti di Thailand. Serta pada 20
September 1977 didirikannya Universitas Aceh di Pengunungan Halimun Pidie. Kuliah
pertama Universitas Aceh di pegunungan Halimun di Pidie yang dihadiri oleh 50 peserta,
dengan Rektor pertama adalah T. Hasan Tiro. Dengan membuka beberapa fakultas
didirikan antara lain :
1.
Fakultas Kedoktoran;
2. Administrasi
Masyarakat;
3. Hukum,
4. Hubungan
Internasional dan
5. Akademi
Militer.
Dr. Muchtar
Yahya bersama T Hasan Tiro, dan seterusnya pada tahun 1977
Teungku Fauzi Hasbi Geudong menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata RIA.
Dr. Muchtar Yahya Teungku Hasbi Geudong menjadi Presiden RIA Kedua.
Sehingga pada 11 Januari 1978
Teungku Hasan Di Tiro menulis: hari ini ialah hari libur nasional kami, hari
Asyura, memperingati pembantaian tragik para keturunan Nabi Besar Muhammad S A
W yang terjadi di Karbala pada hari ke sepuluh bulan Muharram, bulan pertama
dalam kalendar Islam, pada tahun 61 Hijrah atau 680 MS. Tragedi Karbala telah
dipandang sebagai tragedi pribadi bagi setiap Muslim, bagi setiap
keluarga di Aceh, seperti halnya di setiap penjuru dunia Islam lainnya, di mana
terdapat sentimen religius dan kesedaran religius yang kuat. Sedemikian kuatnya
hingga bahkan nama bulan Muharram, untuk memperingati Karbala, di Aceh lebih
terkenal sebagai bulan Hasan-Hussein.
Pada 29 Maret 1979 hari Kamis T. Hasan Tiro keluar dari hutan yang beliau
masuk sejak 1976. Beliau bertolak dari Jeunib ke Malaysia dan seterusnya ke
Stockholm dan tidak kembali ke Amerika Syarikat.
Pada tahun 1979 Dr. Zubir Mahmud Menteri Sosial GAM ditembak.
Pasa 11 November 1986 Surat dari
T. Hasan Tiro yang diketik di depan Murizal Hamzah di mana kalimat
aslinya berbunyi:
Keu Njang Teugasih
Panglima
Angkatan Darat
Negara Islam
Atjeh
bak teumpat
Assalamu
alaikum w.w.
Secara terbuka, penyebutan Negara Islam Atjeh
merupakan titik pijak dari keberadaan AM (Aceh Merdeka). Sedangkan untuk percaturan
antara-bangsa, suami dari dora ini mempopulerkan gelar Atjeh Sumatra National
Liberation Front (ASNLF). Mengapa harus mencantumkan kata Sumatra? Ini agar
mata dunia lebih cepat mengetahui di mana posisi Atjeh berada. MS 181.
(Surat Maklumat Negara Islam Aceh)
Pada tanggal 1 Februari 1991 Di Stockholm, T.
Hasan Di Tiro berpidato berapi-api atas tajuk 'Sumatra milik Siapa?'
Diterbitkan oleh Biro Penerangan Angkatan Aceh-Sumatra Merdeka.
kemudian pada 3 Mei 1996 Keluar berita dalam Serambi Indonesia
menyatakan 12 pesawat pengangkut Hercules C-130 menurunkan 814 orang pasukan
payung dari Jawa untuk menyerang GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) di daerah
Pidie. Potongan akhbar ini dikirim oleh Teungku Hasan Di Tiro kepada wartawan
television Belanda bernama Jelte Rep yang pernah mewawancara beliau di
Stolkholm lebih awal lagi.
Dalam
wawancara itu Teungku Hasan Di Tiro telah mendakwa bahawa GAM mempunyai tentera
terlatih di Libya dan menggunakan senapang AK-47 buatan Rusia. Dalam masa 20
tahun 50,000 rakyat Aceh teas di tangan 250,000 perajurit TNI. Tetapi Aceh
tidak dap at ditundukkan. Dan pada tahun 1996 oleh Wartawan Televisyen Belanda Jelte Rep
mengeluarkan filem berjudul 'Atjeh, Atjeh, Documentaire'
Kemudian pada tahun 2000 Davos, Switzerland - GAM dan RI cuba melakukan
negosiasi untuk menghentikan konflik melalui jendela kemanusiaan.
Pada Desember 2002
Tandatangan kesepakatan gencatan senjata yang dikenal dengan Cessation of
Hostilities Agreement (COHA).
Pada Mei 2003 Berlaku
pelanggaran kesepakatan 2002. Aceh kembali ke darurat militer.
Kemudian pada tahun 2004 Status
darurat militer diturunkan ke darurat sipil.
Pada 25 Desember 2004 Tsunami dan
Gempa Bumi terjadi di Aceh membawa perubahan dinamis.
Seterusnya pada tanggal
15 Agustus 2005 terjadilah Perjanjian Damai
Helsinki antara GAM dan Pemerintah Indonesia.